2.16.2013
Galeri Resi Gotama
There is pictura and ilustration of Resi Gotama Father of Sugriva, Subali And Anjani
Gotama
RESI GOTAMA adalah seorang brahmana di pertapaan
Dewasana /Grastina. Ia putra tunggal Resi Dewasana, putra sulung Bathara
Dewanggana yang merupakan cucu buyut Bathara Surya. Resi Gotama bersaudara
sepupu dengan Prabu Heriya, raja negara Maespati yang merupakan kakek Prabu
Arjunasasrabahu , dan Resi Wisanggeni dari pertapaan Ardi Sekar yang merupakan
kakek dari Bambang Sumantri dan Ramaparasu (Ramabargawa).
Resi Gotama sangat sakti dan termasyur dalam ilmi
Kasidan. Resi Gotama menikah dengan Dewi Indradi/Windradi, seorang bidadari
keturunan Bathara Asmara. Dari perkawinan tersebut ia memperoleh tiga orang
putra masing-masing bernama; Dewi Anjani, Subali/Guwarsi dan Sugriwa/Guwarsa.
Malapetaka telah terjadi atas keluarganya akibat Cupumanik Astagina, milik Dewi
Indradi sebagai hadiah perkawinan dari Bathara Surya. Cupu yang diberikan
kepada Dewi Anjani menjadi perebutan dengan Subali dan Sugriwa. Dewi Indradi
yang bersikap membisu tentang asal-usul Cupu tersebut, dikutuk oleh Resi Gotama
menjadi tugu batu dan dibuang ke angkasa jatuh di wilayah negara Alengka.
Tahun berganti tahun, Dewi
Windradi yang sering merasa kesepian karena bersuamikan seorang brahmana tua yg
lebih banyak bertapa, akhirnya tergoda oleh panah asmara Bhatara Surya. Terjalinlah hubungan asmara secara rahasia yg
sedemikian rapi sampai bertahun-tahun tidak diketahui oleh Resi Gotama maupun
oleh ketiga putranya yang semakin beranjak dewasa.
Dewi Indradi memiliki
sebuah pusaka kedewataan, Cupumanik Astagina, pemberian kekasihnya, Batara
Surya. Ketika memberikan Cupumanik itu, Bhatara Surya mewanti-wanti untuk
jangan pernah sekalipun benda itu ditunjukkan, apalagi diberikan orang lain,
walau itu putranya sendiri. Kalau pesan itu sampai terlanggar, akan terjadi hal
hal yang tak diharapkan. Cupumanik Astagina adalah pusaka kadewatan yang
menurut ketentuan dewata tidak boleh dilihat atau dimiliki oleh manusia lumrah.
Larangan ini disebabkan karena disamping memiliki khasiat kesaktian yang luar
biasa, juga didalamnya mengandung rahasia kehidupan alam nyata dan alam
kasuwargan. Bila orang membuka Cupumanik Astagina, pada mangkuk bagian dalamnya
akan tampak gambaran swargaloka yang serba menakjubkan dan penuh warna warni yg
mempesona. Sedangkan pada tutup bagian dalamnya dapat dilihat berbagai panorama
menakjubkan yang ada di seluruh jagad raya, tampil berganti ganti dari satu
pemandangan ke pemandangan lain bagaikan keadaan yg nyata, seolah yg melihatnya
sedang dibawa berkelana berkeliling mayapada, menikmati keindahan alam dari
ketinggian, memandang gunung kebiruan, hutan menghijau, sungai berkelok, mega
berarakan dan langit biru menyejukkan.
Namun, suatu hari ketika
Dewi Indradi sedang asyik mengamati keindahan isi cupu tsb, putri sulungnya
Anjani memergokinya, dan tentu saja amat ingin mengetahui benda yg amat menarik
itu. Terpaksa Dewi Indradi meminjamkannya, dengan syarat jangan sampai
diketahui oleh adik-adiknya. Namun, akhirnya Anjani tidak tahan untuk tidak
memamerkannya kepada kedua adiknya, Guwarsa dan Guwarsi. Akibatnya Cupu Manik
Astagina itu menjadi rebutan, sehingga terjadi pertengkaran dan keributan
diantara ketiga kakak beradik tsb. Anjani menangis dan melapor pada ibunya,
sementara Guwarsa dan Guwarsi mengadu pada ayahnya. Bahkan secara emosional
Guwarsa dan Guwarsi menuduh ayahnya, Resi Gotama telah berbuat tidak adil
menganak emaskan Anjani dengan memberi hadiah yg mereka tidak dapatkan.
Tuduhan kedua putranya ini
membuat Resi Gotama sedih dan prihatin, sebab ia merasa tidak pernah berbuat
seperti itu. Segera saja ia memanggil Anjani dan Dewi Indradi. Karena rasa
takut dan hormat kepada ayahnya, Anjani menyerahkan Cupumanik Astagina kepada
ayahnya. Anjani berterus terang, bahwa benda itu diperoleh dan dipinjam dari
ibunya. Sementara Indradi diam membisu tidak berani berterus terang dari mana ia
mendapatkan benda kadewatan tersebut. Dewi Indradi dihadapkan pada buah
simalakama. Berterus terang, akan membongkar hubungan gelapnya dengan Bhatara
Surya. Bersikap diam, sama saja artinya dengan tidak menghormati suaminya.
Sikap membisu Indradi membuat Resi Gotama marah, yg lalu bersupata bahwa sikap
diam Indradi itu bagaikan sebuah patung batu. Karena pengaruh kesaktiannya,
dalam sekejap sang Dewi benar2 berubah ujud menjadi batu sebesar manusia yg
mirip sebuah tugu. Menghadapi keterlanjuran itu Sang Resi segera mengangkat
tugu batu tsb dan dilemparkannya sejauh mungkin, dan ternyata jatuh di taman
Argasoka dekat kerajaan Alengka. Kutukan ini akan berakhir kelak bila batu tsb
digunakan untuk membela kebenaran dengan cara dihantamkan ke kepala seorang raksasa
atau angkara murka.
Untuk keadilan Resi Gotama membuang Cupumanik
Astagina ke udara untuk diperebutkan ketiga putranya. Cupu jatuh di hutan pecah
menjadi dua buah telaga bernama telaga Sumala dan telaga Nirmala. Dewi Anjani,
Subali dan Sugriwa yang terjun ke dalam telaga Sumala berubah wujud menjadi
kera. Untuk menebus kesalahan dan agar bisa kembali menjadi manusia. Resi
Gotama menganjurkan ketiga putranya untuk pergi bertapa. Dewi Anjani bertapa
nyantika (seperti katak) di telaga Madirda, Subali melakukan tapa ngalong
(seperti kelelawar) dan Sugriwa melakukan tapa seperti kijang di hutan
Sunyapringga.
Resi Gotama meninggal dalam usia lanjut, menyusul
kematian Dewi Anjani yang baru saja melahirkan Anoman.
sumber:
http://pdwi.org/index.php?option=com_content&view=article&id=195:gotama&catid=79:wayang-purwa&Itemid=192
http://caritawayang.blogspot.com/2012/04/tragedi-agrastina-anjani-subali-sugriwa.html
Jatasura
Sebagai saudara seperguruan, Jatasura dan Maesasura hidup dalam satu jiwa. Artinya bila salah satu diantara mereka mati dan dilangkai oleh yang masih hidup, maka yang mati akan hidup kembali. Karena kesaktiannya tersebut, Jatasura sangat mendukung keinginan Prabu Maesasura untuk memperistri Dewi Tara, bidadari Suralaya putri Sanghyang Indra dari permaisuri Dewi Wiyati. Ketika lamarannya ditolak Bathara Guru., mereka mengamuk di Suralaya dan berhasil mengalahkan para dewa.
sumber:
http://wayang.wordpress.com/2010/03/14/jatasura/
Prabu Maesasura (mahesasura)
Prabu Maesasura adalah raja negara Guwa Kiskenda. Ia berwujud raksasa
berkepala kerbau. Prabu Maesasura mempunyai seorang patih yang bernama
Lembusura, raksasa berkepala sapi. Prabu Maesasura sangat sakti karena
mempunyai saudara seperguruan bernama Jatasura, seekor harimau yang
memiliki rambut gimbal di lehernya. Prabu Maesasura dan Jatasura
seolah-olah dua jiwa yang satu, artinya ; keduanya tidak dapat mati,
apabila hanya satu dari mereka yang tewas.
Pada suatu waktu Maesasura
melakukan tapa dengan Lembusura. Untuk memohon agar hidup mereka di jadikan
satu. Hal tersebut dimaksudkan untuk melipat gandakan kesaktiannya. Tapa yang
dilakukan keduanya membuat kahyangan Jonggringsaloka panas. Batara Guru turun ke
dunia menemui Maesasura dan Lembusura, untuk menghentikan laku tapanya. Keduanya
sanggup menghentikan tapanya jika permohonannya sudah dikabulkan. Batara Guru
penguasa para dewa tersebut berkenan mengabulkan permohonan Maesasura dan
Lembusura. Mulai saat itu, hidup keduanya dijadikan satu. Jika yang satu sakit
yang satunya bisa menyembuhkan. Dan jika yang satu mati, yang satunya bisa
menghidupkan.
Maesasura dan Lembusura tumbuh
menjadi manusia dewasa yang saktimandraguna. Mereka mempunyai kuda tunggangan
berkepala singa yang bernama Jatasura. Karena kesaktiannya, mereka dengan mudah
mengumpulkan pengikut. Setelah kuat, Maesasura mengangkat dirinya sebagai raja
di negara Goa Kiskenda. Sedangkan Lembusura menjadi Patihnya.
Negara Goa Kiskenda sangat
ditakuti lawan dan disegani kawan. Wilayahnya semakin luas dan pasukannya
semakin kuat. Hasil bumi melimpah ruah, makmur negaranya dan sejahtera rakyatnya
Prabu Maesasura merasakan bahwa
segalanya telah terpenuhi bahkan turah melimpah. Mau apalagi? Namun akhir-akhir
ini jiwanya sering merasakan kesepian. Ada sesuatu yang kurang, yaitu seorang
pendamping yang sangat dekat dengan hatinya dan menjadi satu dengan jiwanya.
Tetapi bukan Lembusura, karena Lembusura bukan pendamping lagi melainkan adalah
dirinya sendiri.
Gagasan muncul, bagaimana kalau
aku memperisteri Bidadari? Tentunya pas. Karena aku adalah seorang raja besar
dan sakti. Di dunia ini tidak ada raja yang dapat menandingi kesaktianku,
sekalipun ia adalah raja keturunan dewa. Bahkan dewa sekalipun tidak ada yang
berani tanding dengan ku. Itu artinya bahwa secara tidak langsung aku berkuasa
pula atas para dewa. Ooo kalau begitu apa salahnya aku mengambil salah satu
bidadari menjadi istriku? Tentunya para dewa akan mengijinkannya. Jika tidak
akan aku obrak-abrik seluruh kahyangan tempat tinggal.para dewa dan bidadari.
Karena merasa sangat sakti, Prabu Maesasura datang ke Kahyangan Kaindran untuk melamar Dewi Tara, putri Sulung Bathara Indra dengan Dewi Wiyati. Kalau lamarannya ditolak, Prabu Maesasura dan Jatasura mengancam akan menghancurkan Kahyangan Keindran dengan seluruh bala tentaranya yang sangat kuat. Bathara Indra kemudian meminta bantuan kepada Subali dan Sugriwa, keduanya putra Resi Gotama dengan Dewi Indradi dari pertapaan Grastina/Erraya, untuk mengahadapi dan membunuh Prabu Maesasura, Jatasura dan Lembusura.
Subali sangat heran dan bingung melihat kesaktian kedua musuhnya. Setelah berpikir keras, akhirnya ia menemukan satu cara untuk menghadapinya yaitu membinasakan mereka secara bersamaan. Dengan cara itu, mereka tidak bisa lagi saling melangkahi satu sama lain. Subali kemudian mengubah tubuhnya menjadi besar sebesar tubuh Mahesa Sura dan Lembu Sura. Pada saat yang tepat, ia memegang tanduk kedua musuhnya lalu membenturkannya. Tak ayal lagi, kepala kedua makhluk tersebut pecah sehingga darah bercampur otak yang berwarna putih mengalir keluar gua.
Prabu Maesasura, dan Jatasura akhirnya dapat dibinasakan oleh Subali
yang menantang masuk ke dalam Gowa Kiskenda. Kepala Maesasura dan
Jatasura diadu kumba (saling dibenturkan satu dengan yang lain) hingga
pecah dan mati seketika di dalam saat yang bersamaan. Sedangkan patih
Lembusura dapat dibinasakan oleh Sugriwa.
=======
Dalam mitologi Hindu, Maya (मय), atau Mayasura (मयासुर) adalah raja
besar yang menguasai ras Asura, Daitya dan Rakshasa di muka bumi. Ia
juga merupakan arsitek mahir bagi penduduk di bawah tanah. Ia juga
membangun istana megah di Indraprastha. Ia berguru kepada Sukracarya,
guru para daitya dan asura.
Dalam Ramayana, Mayasura merupakan ayah dari Mandodari, istri
Rahwana. Ia membangun sebuah istana megah di tengah gua. Hanoman bersama
para wanara menjumpai istana tersebut dalam kitab Sundarakanda. Di
tengah gua tersebut, hidup seorang wanita bernama Swayampraba. Wanita
itu menolong Hanoman dan para wanara agar sampai di pantai selatan
India.
Dalam Mahabharata, pada saat Pandawa membuka sebuah hutan untuk
dijadikan kota Indraprastha, Kresna memanggil Wiswakarma untuk
menciptakan kota dengan struktur megah. Mayasura turut serta dalam
pekerjaan itu dengan membangun sebuah balairung besar bernama Mayasabha
untuk Raja Yudistira pada saat pembangunan kota Indraprastha.
sumber
http://artkimianto.blogspot.com/2010/09/profil-mahesasura.html
http://ceritarakyatnusantara.com/id/folklore/212-Kisah-di-Gua-Kiskenda#
1.16.2013
the batle of great wanara
1.04.2013
Sugriwa
Sugriwa (Sanskerta;
Sugrīva) adalah seorang tokoh protagonis dalam wiracarita Ramayana. Ia adalah
seorang raja kera dan merupakan seekor wanara. Ia tinggal di Kerajaan Kiskenda bersama
kakaknya yang bernama Subali.
Ia adalah teman Sri Rama dan membantunya
memerangi Rahwana untuk menyelamatkan
Sita.
Nama Sugriwa dalam bahasa Sanskerta (Sugrīva)
artinya adalah "leher yang
tampan".
Sugriwa
dikenal pula dengan nama Guwarsa (pedalangan). Ia merupakan putra bungsu Resi
Gotama dari pertapaan Erraya/Grastina dengan Dewi Indradi/Windardi, bidadari
keturunan Bathara Asmara. Sugriwa mempunyai dua orang saudra kandung
masing-masing bernama : Dewi Anjani dan Subali.
Seperti
juga yang dialami oleh Subali kakaknya, Sugriwa sebelumnya berwajah tampan
dengan nama Guwarsi. Ia berubah menjadi seekor kera ketika berebut Cupu Manik Astagina
dengan kakaknya di Telaga Sumala. Perubahan wujud dari satria tampan menjadi
seekor kera terjadi saat Sugriwa dan kakaknya masuk di air telaga.
Di
dalam kedalaman air telaga Sumala, Sugriwa tidak menemukan benda yang
diperebutkan, yang ditemukan adalah seekor kera besar, sebesar dirinya. Sugriwa
segera menyerang kera tersebut, karena mengira bahwa kera itu telah mengambil
Cupu Manik Astagina. Demikian pula sebaliknya, Subali pun mempunyai anggapan
bahwa kera yang menyerang dirinya itu telah mengambil Cupu Manik Astagina. Oleh
karenanya Subali pun membalas serangan Sugriwa. Maka kemudian diantara kakak
beradik tersebut terlibat dalam peperangan yang seru. Beberapa waktu kemudian
mereka baru menyadari bahwasanya mereka adalah kakak beradik, Guwarsa dan
Guwarsi yang telah berubah menjadi kera.
Setelah
peristiwa itu nama Guwarsa Guwarsi seakan tenggelam berserta ketampanannya.
Mereka lebih dikenal dengan nama Subali dan Sugriwa. Oleh Resi Gotama Sugriwa
dan juga Subali disarankan untuk bertapa di hutan Sonyapringa yang berada di
gunung Argasonya. Di wilayah itulah Sugriwa melakukan tapa untuk memohon agar
dirinya dikembalikan ke dalam bentuk semula. Namun bertahun-tahun sudah Sugriwa
melakukan tapa, apa yang diharapkan tidak pernah terwujud.
Oleh
karena tingkah lakunya yang saling berebut saling menggigit dan saling mencakar
antara sesama saudara kandung, untuk memiliki sebuah benda yang bukan haknya,
Sugriwa lebih sesuai berwujud sebagai seekor kera. Karena sesungguhnya wujud
kera adalah wujud kegagalan. Kegagalan untuk mempertahankan jati dirinya
sebagai seorang kesatria.
Walaupun
Sugriwa tetap berujud kera, ia adalah kera yang sakti mandraguna. Kesaktian itu
didapat pada waktu ia melakukan tapa. Oleh karena kesaktiannya, Sugriwa
dipercaya oleh Dewa untuk membantu Subali dalam menghadapi musuh Kahyangan
yaitu Mahesasura, Lembusura dan Jatasura dari kerajaan Goa Kiskenda.
Setelah menjadi wanara/kera, dalam perebutan Cupumanik Astagina, Sugriwa diperintahkan ayahnya untuk bertapa Ngidang (hidup sebagai kijang) di dalam hutan Sunyapringga apabila menginginkan kembali berwujud manusia. Atas jasa Resi Subali yang berhasil membunuh Prabu Maesasura dan Jatasura, Sugriwa dapat memperistri Dewi Tara dan menjadi raja di kerajaan Gowa Kiskenda serta wadya/ balatentara kera. Prabu Sugriwa juga menikah dengan Endang Suwarsih, pamong Dewi Anjani dan memperoleh seorang putra berwujud kera yang diberi nama Kapi Suweda.
Pada suatu ketika, rakshasa bernama Mayawi
datang ke Kerajaan Kiskenda untuk menantang
berkelahi dengan Subali . Subali yang tidak pernah menolak jika ditantang
berkelahi menyerang Mayawi dan diikuti oleh Sugriwa. Melihat lawannya ada dua
orang, raksasa tersebut lari ke sebuah gua besar. Subali mengikuti raksasa tersebut
dan menyuruh Sugriwa menunggu di luar. Dengan rasa
cemas dan khawatir Sugriwa menunggu di mulut goa, dengan tidak melepaskan
pandangannya pada sungai kecil yang mengalir keluar goa. Setelah beberapa lama
Sugriwa menunggu, ia dikejutkan oleh mengalirnya darah yang berwarna merah
bercampur dengan darah yang berwarna putih. Dengan cepat Sugriwa mengambil
kesimpulan, bahwa Subali kakaknya telah mati bersama dengan salah satu musuhnya,
Lembusura atau Mahesasura. Maka segeralah ia menutup pintu goa agar musuh yang
masih hidup mati terkubur bersama.
Merasa musuh atau klilip kayangan jonggring
saloka sudah tewa, Bethara Guru dengan senang hati memberikan hadiah kepada
Sugriwa. Hadiah itu adalah Dewi Tara untuk dijadikan istri. Sebenarnya, Sugriwa
merasa berat hati menerima hadiah tersebut, karena dia tahu yang lebih berhak
menerima adalah kakaknya, Subali. Namum, karena yakin kakaknya telah meninggal,
ia menerima hadiah itu.
Saat Sugriwa menikmati masa-masa
kekuasaannya, Subali datang dan marah besar karena Sugriwa telah mengurungnya
di dalam gua. Merasa bahwa ia dikhianati, Subali mengusir Sugriwa jauh-jauh dan merebut istrinya pula.
Sugriwa dengan rendah hati minta ma'af kepada Subali, namun permohonan ma’afnya
tidak diterima Subali. Akhirnya Subali menjadi raja Kiskenda sedangkan Sugriwa
beserta pengikutnya yang setia bersembunyi di sebuah daerah yang dekat dengan
asrama Resi Matanga, dimana Subali tidak akan berani untuk menginjakkan kakinya
di daerah itu.
Sugriwa dan Rama
Dalam masa petualangan mencari Sita, Rama dan
Laksmana menyeberangi sungai Pampa dan
pergi ke gunung Resyamuka, sampai akhirnya tiba di kediaman para wanara. Sugriwa takut saat melihat Rama dan Laksmana sedang mencari-cari sesuatu, karena ia
berpikir bahwa mereka adalah utusan Subali yang dikirim untuk mencari dan
membunuh Sugriwa. Kemudian Sugriwa mengutus keponakannya yang bernama Hanoman untuk menyelidiki kedatangan Rama dan
Laksmana.
Rama dan Laksamana heran menyaksikan kera putih Hanuman
yang dapat berbicara seperti manusia. Hanuman bercerita bahwa rajanya yang
bernama Sugriwa berada di hutan Pancawati karena diusir dari kerajaan Kiskenda
oleh kakaknya yang bernama Subali. Hanuman memohon Rama untuk menolong
Sugriwa menduduki kembali takhta kerajaannya.
Rama menyanggupi. Rama pun bercerita bahwa
pengembaraannya di hutan itu sebenarnya untuk mencari istrinya yang diculik
oleh raja raksasa Rahwana. Dengan diantar Hanuman, Rama dan Laksamana pergi
menuju hutan Pancawati. Sebagai penunjuk jalan Hanuman mendahului mereka sambil
meloncat di antara pepohonan.
Ketika tiba di suatu tempat Rama merasa kehausan.
Laksamana disuruhnya mencari air. Pada sebuah batang pohon Laksamana melihat
air mengalir turun ke bawah. Maka ditampungnya air itu dengan buluh. Ternyata
air itu adalah air mata Sugriwa yang tengah bertapa duduk di atas sebatang
pohon yang tinggi.
Setelah mengetahui bahwa Rama dan Laksmana adalah orang
baik, Hanoman mempersilakan mereka untuk menemui Sugriwa. Di hadapan Rama,
Sugriwa menceritakan masalah dan masa lalunya. Sugriwa juga mengutarakan
permohonannya untuk merebut istri dan kerajaannya kembali. Akhirnya Rama dan
Sugriwa menjalin persahabatan dan berjanji akan saling membantu satu sama lain.
Setelah menyusun suatu rencana, mereka datang ke Kerajaan Kiskenda.
Di pintu gerbang istana Kiskenda, Sugriwa berteriak
menantang Subali. Karena merasa marah, Subali keluar dan bertarung dengan
Sugriwa. Setelah petarungan sengit berlangsung beberapa lama, Sugriwa makin
terdesak sementara Subali makin garang.
Pertarungan kedua kakak-beradik itu belum berakhir juga.
Sugriwa dengan sekuat tenaga mencabut sebatang pohon tal, lalu dihantamkannya
kepada Subali. Subali rubuh, tapi ia segera bangkit lagi. Subali memuncak
amarahnya. Sugriwa ditangkapnya, lalu dilemparkannya jauh-jauh.
Sugriwa mendekati Rama dan bertanya mengapa Rama belum
juga membantu. Rama menjawab bahwa ia ragu-ragu untuk melepaskan panahnya
karena Sugriwa dan Subali amat mirip . Rama menyuruh Sugriwa berkalung janur
agar mudah dibedakan dari Subali.
Tak lama kemudian Sugriwa dengan berkalungkan janur
kembali ke medan pertarungan. Ditantangnya Subali bertanding lagi. Mendengar
tantangan Sugriwa itu, Subali pun semakin membara amarahnya. Diterkamnya
Sugriwa, lalu diringkusnya sampai ia tak dapat bergerak sama sekali. Pada saat
itulah Rama mengangkat busurnya. Dibidiknya Subali, dan sesaat kemudian
terlepaslah anak panah dari busur Rama. Panah itu menancap di dada Subali, dan
rubuhlah Subali ke tanah.
Panah sakti tersebut menembus dada Subali yang sekeras
intan kemudian membuatnya jatuh tak berkutik. Saat sedang sekarat, Subali
memarahi Rama yang mencampuri urusannya. Ia juga berkata bahwa Rama tidak
mengetahui sikap seorang ksatria. Rama tersenyum mendengar penghinaan Subali
kemudian menjelaskan bahwa andai saja Subali tidak bersalah, tentu panah yang
dilepaskan Rama tidak akan menembus tubuhnya, melainkan akan menjadi bumerang
bagi Rama. Setelah mendengar penjelasan Rama, Subali sadar akan dosa dan
kesalahannya terhadap adiknya. Akhirnya ia merestui Sugriwa menjadi Raja Kerajaan
Kiskenda serta menitipkan anaknya yang bernama Anggada untuk dirawat oleh
Sugriwa. Tak berapa lama kemudian, Subali menghembuskan napas terakhirnya.
Terlepaslah Sugriwa dari bahaya maut. Tetapi setelah
melihat mayat Subali, hatinya menjadi sedih. Betapa sengit permusuhan kedua
saudara itu. Setelah Sugriwa menyaksikan kematian kakaknya, ia pun tak dapat
menahan air matanya.
Sambil terisak-isak dirangkulnya tubuh kakaknya. Ketika
Rama mendekat, Sugriwa menyembah sambil mengucapkan terima kasih atas
bantuannya. Sugriwa dengan rela hati menyilakan Rama menjadi raja di Kiskenda.
Rama menolaknya karena ia masih menjalankan perintah ayahandanya almarhum,
yaitu hidup dalam pembuangan. Menurut pendapatnya, sudah sewajarnyalah jika
Sugriwa kini menduduki takhta Kerajaan Kiskenda.
Langganan:
Postingan (Atom)